- previously titled as Serpihan Memori (2008/ 2009) -
Luna menatapku dengan tatapan penuh rasa bersalah,
sedih, dan tatapan ‘maafkan aku’. Aku hanya terdiam melihatnya menjauh,
menjauh, terus menjauh hingga lenyap dari pandanganku. Menjauh karena apa?
Entahlah.
Aku
berjalan menuju rumahnya. Jalan yang sudah sangat kukenali. Ya, dulu aku pernah
tinggal disini selama beberapa tahun. Rumahku yang dulu pun masih berdiri
dijalan ini, walaupun tak terurus. Belum sempat aku mencapai rumahnya, hujan
turun begitu deras. Aku mempercepat langkahku.
Aku
merasa cemas. Cemas yang menurutku tak beralasan. Tubuhku sudah basah kuyup
karena hujan. Sekali lagi dengan cemas, aku langsung membuka pagar rumahnya,
berdiri di teras rumahnya dan mulai membunyikan bel, tetapi tidak ada jawaban.
Hening, sunyi, sepi. Tapi kepanikan dikepalaku mengalahkan semua kekosongan
itu. Maaf, tapi sekali lagi dengan cemas aku mulai memanggil namanya,
”Dipta!”
”Dipta!”
”Diptaaaa!”
’Oh,
tidak. Tidak. Dimana dia? Kenapa
dia tidak ada disaat aku membutuhkannya? Disaat seperti ini? Saat aku sangat
ingin menemuinya?’.
Aku keluar dari rumahnya tanpa peduli untuk
menutup pagar. Hampir berlari tanpa arah, dengan air hujan yang tanpa iba masih
mengguyur tubuhku, dengan perasaan yang campur aduk. Kesal, sedih, merasa
di...khianati. Mungkinkah?
No comments:
Post a Comment